Ustad, Ane Ingin Keluar dari GAY
Assalamu’alaikum wr.wb Saya mohon bantuannya, saya mempunyai orientasi sex yang tidak normal, saya benar-benar bingung, mengapa saya begini, mengapa saya tidak bisa mencintai lawan jenis. Saya takut untuk bicara sama teman atau orang lain, saya takut mereka akan membenci saya. Selama ini, orang sering mencemooh atau menghujat orang seperti saya, tanpa bisa merasakan betapa perihnya perasaaan ini, perasaan yang saya sendiri tidak mau. Saya takut menata masa depan, takut untuk berkeluarga, takut bersosialisai, takut memasuki lingkungan yang baru, takut kalau mereka menganggap saya lain dan menertawakan saya.
Bagaimana solusi Islam dalam hal ini? Mohon bantuannya. Terima kasih. Wassalam.
Jawaban :
Khuntsa, Mukhannats, dan Homo dalam Islam
Wa’alaikum salam wr. wb.
Bapak “sayapuntaktahu85” yang baik, ini adalah pertanyaan yang cukup rumit dan kompleks. Untuk itu, sebelum menjawab, kami akan menjelaskan agak panjang lebar tentang sejumlah hal yang berkaitan dengan pertanyaan bapak.
Pada dasarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhluk berpasang-pasangan; siang-malam, api-air, jantan-betina, panas-dingin, besar-kecil, dan sebagainya, termasuk laki-laki dan perempuan. Dalam al-Qur`an disebutkan,
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu ingat kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat: 49)
Khusus tentang laki-laki dan perempuan, Allah berfirman,
“Dan sesungguhnya Dia menciptakan laki-laki dan perempuan berpasang-pasangan.” (Adz-Dzariyat: 45)
Itulah, para ulama memasukkan “gender ketiga” ke dalam salah satunya, ke dalam jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Tidak ada gender ketiga, tidak ada manusia berjenis kelamin lain selain laki-laki dan perempuan.
Namun begitu, dalam kitab tafsir Ahkam Al-Qur`an, Imam Ibnul Arabi berkata, “Orang-orang awam mengingkari keberadaan gender ketiga. Mereka mengatakan; ‘Tidak ada yang namanya khuntsa (semi laki-laki atau semi perempuan), karena sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan.’ Kami katakan, ini adalah kebodohan terhadap bahasa dan ketidaktahuan akan kefasihannya. Selain itu, ini merupakan ketidakmengertian akan luasnya kekuasaan Allah. Padahal sesungguhnya kekuasaan Allah itu ia sangatlah luas dan Dia Maha mengetahui.
Tentang zhahirnya ayat dalam Al-Qur`an, sebetulnya ia tidak menafikan keberadaan khuntsa. Karena Allah Ta’ala berfirman;
‘Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, Dia menciptakan apa saja yang Dia kehendaki.’ (Al-Maa`idah: 17).
Jadi, ini sifatnya umum. Ia tidak boleh dikhususkan, karena kemahakuasaan Allah menuntut demikian.
Adapun firman-Nya;
‘Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.’ (Asy-Syura: 49-50)
Maka, ini adalah pengabaran tentang sesuatu yang mayoritas/sering terjadi di alam, dan Dia tidak menyebutkan sesuatu yang jarang terjadi karena ia bisa masuk kepada yang umum, pada firman-Nya yang pertama. Fakta membuktikan hal ini, dan apa yang disaksikan mata mendustakan orang yang mengingkari.” [Ahkam Al-Qur`an/Ibnul Arabi]
Jadi, menurut Ibnul Arabi, yang namanya “khuntsa” itu ada, dan dia mempunyai hukumnya tersendiri, selama dia tidak bisa dimasukkan atau dikelompokkan ke dalam salah satu jenis kelamin: laki-laki atau perempuan. Adapun jika dia sudah bisa digolongkan ke dalam salah satu jenis kelamin, maka dia dihukumi dengan salah satu jenis kelamin tersebut; laki-laki atau perempuan.
Al-Khuntsa
Dalam Islam, ada istilah “al-khuntsa” dan “al-mukhannats.”
Al-khuntsa, secara umum para ulama mendefinisikannya sebagai orang yang mempunyai dua alat kelamin, laki-laki dan perempuan. Atau, bahkan tidak mempunyai alat kelamin, baik kelamin laki-laki maupun perempuan. Artinya, dia bukan laki-laki juga bukan perempuan.
Tetapi, Imam Al-Kasani berpendapat bahwa seorang manusia tidak bisa menjadi laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Dia mesti laki-laki, atau mesti perempuan. [Bada`i’ Ash-Shana`i’/Al-Kasani]
Al-khuntsa ada dua macam, yaitu: al-khuntsa “ghairul musykil” (tidak sulit) dan al-khuntsa “al-musykil” (sulit).
Pertama; al-Khuntsa ghairul musykil, yaitu orang/khuntsa yang jelas tanda-tanda kelelakiannya atau tanda-tanda keperempuanannya. Tanda-tanda ini bisa dilihat secara fisik, mana yang lebih dominan. Untuk yang belum baligh, biasanya dilihat dari saluran mana dia kencing. Jika air kencing keluar dari kemaluan laki-laki, maka dia dihukumi sebagai laki-laki. Dan jika keluar dari kelamin perempuan, maka dihukumi sebagai perempuan.
Sedangkan setelah baligh, jika dia mimpi junub, (maaf) penisnya lebih menonjol dari sebelumnya, suaranya lantang, menyukai tantangan, keluar jenggot atau kumis, dan sebagainya; maka dia dihukumi sebagai laki-laki.
Adapun jika dia mengalami menstruasi, payudaranya membesar, suaranya lembut, menyukai permainan atau aktifitas yang cenderung disukai wanita, suka berdandan, dan sebagainya; maka dia dihukumi sebagai perempuan.
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [XX/22] disebutkan, “Siapa yang tampak jelas pada dirinya tanda-tanda maskulin atau feminin, maka diketahui bahwa dia adalah laki-laki atau perempuan. Yang seperti ini, bukan khuntsa yang musykil (sulit). Karena sesungguhnya dia adalah lelaki yang memiliki anggota tubuh (kelamin) tambahan, atau perempuan yang memiliki anggota tubuh (kelamin) tambahan. Hukum khuntsa jenis ini dalam masalah waris dan dalam semua masalahnya adalah sesuai dengan hukum yang tampak pada tanda-tanda yang ada padanya.”
Kedua; al-khuntsa al-musykil, yaitu orang/khuntsa yang mempunyai tanda-tanda maskulinitas dan feminitas dalam dirinya, misalnya; dia buang air kecil dari saluran kencing perempuan dan laki-laki secara bersamaan, atau tumbuh jenggot dan payudara dalam satu waktu; sehingga tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan. Dan, sejatinya yang dimaksud dengan kata al-khuntsa dalam kitab-kitab fiqih adalah khuntsa ini, yakni khuntsa musykil.
Namun demikian, jika seorang khuntsa musykil mengaku sebagai laki-laki, maka dia dihukumi sebagai laki-laki. Dan jika dia mengaku sebagai perempuan, maka dia dihukumi sebagai seorang perempuan.
Ibnu Qudamah berkata, “Apabila seorang khuntsa musykil mengatakan; ‘saya laki-laki’, maka dia tidak boleh dihalangi jika hendak menikahi perempuan. Dan, dia tidak boleh menikahi selain perempuan (maksudnya, menikahi laki-laki) setelah itu. Begitu pula jika seorang khuntsa musykil mengatakan; ‘saya perempuan’, maka dia tidak boleh menikah kecuali dengan laki-laki.” [Al-Mughni fi Fiqhi Al-Imam Ahmad ibn Hanbal Asy-Syaibani]
Al-Mukhannats (dan Al-Mutarajjil)
Al-mukhannats berbeda dengan al-khuntsa. Al-Mukhannats (yang kewanita-wanitaan) yaitu orang yang secara fisik adalah lelaki tulen, dan memiliki satu alat kelamin, yakni kelamin laki-laki. Tetapi, dia berperilaku layaknya perempuan atau menyerupai perempuan dalam tingkah lakunya, gerak-geriknya, suaranya, dan gaya bicaranya. Adapun untuk perempuan yang menyerupai laki-laki, disebut sebagai al-mutarajjil (yang kelelaki-lakian). Dalam istilah kita, al-mukhannats sering disebut sebagai banci atau bencong atau waria. Sedangkan al-mutarajjil, biasa disebut sebagai tomboy, atau mungkin lebih tepatnya tomboy yang ekstrim, alias betul-betul seperti laki-laki dalam hampir segala hal.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat mukhannats kaum laki-laki yang menyerupai perempuan, dan mutarajjil dari kaum perempuan yang menyerupai laki-laki.” [HR. Ahmad]
Dan, dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma disebutkan,
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat mukhannats dari kaum laki-laki dan mutarajjil dari kaum perempuan. Beliau bersabda; Keluarkanlah mereka dari rumah kalian’.” [HR. Al-Bukhari dan Ibnu Majah]
Menurut para ulama –sebagaimana dikatakan Imam An-Nawawi–, al-mukhannats ada dua macam. Yang pertama; Adalah orang yang memang pada dasarnya tercipta seperti itu. Dia tidak mengada-ada atau berlagak dengan bertingkah laku meniru perempuan; dalam gayanya, cara bicaranya, atau gerak-geriknya. Semuanya alami. Allah memang menciptakannya dalam bentuk seperti itu. Yang demikian, dia tidak tercela, tidak boleh disalahkan, tidak berdosa, dan tidak dihukum. Mukhannats jenis ini dimaafkan, karena dia tidak membuat-buat menjadi seperti itu. Karena itulah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkari seorang mukhannats jenis ini berkumpul bersama para perempuan. Beliau juga tidak mengingkari tingkah lakunya yang seperti perempuan, karena dia aslinya memang seperti itu. Tetapi kemudian beliau mengingkari mukhannats ini, setelah dia menceritakan apa-apa yang dilihatnya dari kaum perempuan. Namun, beliau tidak mengingkari keberadaannya sebagai seorang mukhannats.
Yang kedua; Yaitu mukhannats yang pada dasarnya tidak tercipta sebagai seorang mukhannats. Tetapi, dia membuat-buat dan bertingkah laku layaknya perempuan dalam gerakannya, dandanannya, cara bicara, dan gaya berpakaian. Inilah mukhannats yang tercela, di mana terdapat hadits-hadits shahih yang melaknatnya. Adapun mukhannats yang pertama, maka ia tidak dilaknat. [Syarh Shahih Muslim]
Al-Hafizh Ibnu Hajar menggarisbawahi, “Namun hendaknya ia (si mukhannats) berusaha keras untuk menghilangkan sifat kewanita-wanitaannya itu.” [Fath Al-Bari]
Al-Khuntsa dalam Sejarah Islam
Al-Khuntsa tidak tercela, dan orang yang mengalaminya tidak boleh dilecehkan. Sebab, ia adalah ciptaan Allah. Ia tercipta dengan keadaan yang demikian atas kehendak Allah. Bukan karena keinginannya sendiri.
Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwasanya Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu ‘Anhu pernah didatangi beberapa orang utusan Muawiyah bin Abi Sufyan yang menanyakan masalah warisan seorang khuntsa. Umar berkata, “Dia (khuntsa itu) mewarisi dari jalan mana dia kencing.” [Al-Mushannaf, VII/374]
Pada masa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, ada seorang laki-laki menikahi perempuan yang ternyata adalah seorang khuntsa. Si istri memiliki dua kemaluan, kemaluan perempuan dan kemaluan laki-laki. Sang suami memberi mahar kepada istrinya berupa seorang budak perempuan. Layaknya sebuah keluarga, si istri lalu hamil dan melahirkan anak. Akan tetapi, tak lama berselang, si budak perempuan yang menjadi mahar itu juga hamil dan melahirkan anak.
Madinah gempar. Peristiwa ini pun diajukan kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Ali bertanya tentang keadaan si istri yang ternyata seorang khuntsa tersebut. Ali mendapat keterangan bahwa si istri haid, menyetubuhi, disetubuhi, mengeluarkan sperma dari dua kemaluannya, dan dia juga bisa hamil maupun menghamili. Masyarakat bingung dengan kondisi si khuntsa.
Ali pun mengirim dua orang utusan untuk menemui si khuntsa dan memerintahkan agar memeriksa tulang rusuknya dari kedua sisi. Jika tulang tersebut sama, berarti dia perempuan. Dan kalau sisi kiri lebih pendek, berarti dia laki-laki. Ternyata didapati bahwa tulang rusuk sebelah kiri si khuntsa lebih pendek, beda satu tulang. Maka, Ali memutuskan bahwa si khuntsa adalah laki-laki. Lalu, Ali memisahkan si istri itu dari suaminya.
Dalilnya adalah, saat Adam masih tercipta seorang diri, Allah ingin memberikan pasangan untuk Adam dari jenisnya, agar mereka bisa saling memberikan ketenangan dan cinta kasih. Oleh karena itu, ketika Adam tidur, Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Hawa dari tulang rusuk kirinya. Itulah makanya, tulang rusuk kiri laki-laki kurang satu, sedangkan tulang rusuk perempuan sempurna. Pada perempuan terdapat 24 buah tulang. Sementara pada laki-laki terdapat 23 tulang, dua belas di sebelah kanan dan sebelas di sebelah kiri. Dan, perempuan itu tercipta dari tulang yang bengkok. [Nur Al-Abshar fi manaqib Aali Bayti An-Nabiy Al-Mukhtar/Mukmin Hasan Asy-Syabalankhi]
Al-Mukhannats Pada Masa Nabi Saw
Al-Mukhannats yang tercela dan dilaknat adalah yang dibuat-buat. Adapun seorang mukhannats yang memang sudah aslinya tercipta demikian dan dia tidak mengada-ada dalam ke-mukhannatsan-nya, maka tidak mengapa. Mukhannats yang disebutkan terakhir tidak boleh dicela. Namun hendaknya sebisa mungkin dia menghilangkan sifat kewanita-wanitaannya, sebagaimana kata Ibnu Hajar.
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ayyasy bin Abi Rabi’ah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada tiga orang mukhannats, yaitu; Mati’, Hidm, dan, Hit. Mati’ adalah budak Fakhitah binti Amr, bibi Rasul. Dulu, mati’ sering masuk ke rumah Nabi dan bertemu dengan istri-istri beliau, sebelum akhirnya dilarang. [As-Sunan Al-Kubra/16760]
Disebutkan dalam hadits, bahwa ada seorang mukhannats yang mengecat kuku-kuku kedua tangan dan kakinya dengan daun pacar didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau bertanya, “Ada apa dengan orang ini?” Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, dia ini menyerupai perempuan.” Maka, Nabi pun memerintahkan agar orang tersebut diasingkan ke Naqi’ (satu tempat dekat Baqi’). Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kita boleh membunuhnya?” Kata Nabi, “Sesungguhnya aku dilarang membunuh orang yang shalat.” [HR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah]
Homoseksual (al-liwath) dan Lesbian (as-sihaq)
Banyak orang salah paham, dikiranya seorang laki-laki yang homo dan perempuan yang lesbi, termasuk dalam kategori khuntsa atau mukhannats yang mendapatkan pengakuan dan ada hukumnya dalam Islam. Ini adalah anggapan keliru. Sebab, jika seorang laki-laki yang secara fisik adalah lelaki tulen; berkelamin laki-laki (bukan ganda), suara laki-laki, badan laki-laki, tumbuh jenggot dan kumis, serta menyukai kegemaran yang biasa disukai laki-laki; tetapi dia mencintai sesama laki-laki; maka inilah yang pernah terjadi pada kaum Luth ‘Alaihissalam. Apabila mereka melampiaskannya dengan berhubungan badan sesama jenis, maka ini adalah perbuatan terlaknat dan orangnya pun terlaknat. Begitu pula dengan perempuan yang demikian. Hukumnya sama.
Adapun jika itu masih berupa perasaan dan belum dilakukan, di mana seorang lelaki mempunyai kecenderungan seksual mencintai sesama lelaki (demikian halnya perempuan), maka belum ada dosa yang dia lakukan, selain penyakit hati. Mudah-mudahan Allah memaafkan dan segera membimbingnya kepada kebenaran, serta mengaruniakan cinta yang fitrah kepada lawan jenis.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya; ‘Kenapa kalian melakukan perbuatan keji itu sedang kalian bisa berpikir? Mengapa kalian berhubungan dengan sesama lelaki untuk melampiaskan syahwat dan menelantarkan perempuan? Sebenarnya kalian adalah kaum yang bodoh’.” (An-Naml: 55)
Jelas berbeda, antara khuntsa dan mukhannats dengan praktik kaum Luth. Orang yang homo atau lesbi, sama sekali bukan khuntsa ataupun mukhannats. Secara fisik mereka lelaki tulen dan perempuan tulen, tidak ada yang diragukan. Kecenderungan seksual mereka yang menyukai sesama jenis, tak lain adalah hawa nafsu semata. Mereka menyalahi fitrahnya. Mereka digelincirkan setan. Perbuatan buruk mereka dihiasi oleh setan sehingga tampak baik. Hendaknya mereka segera bertaubat dan berusaha mencintai lawan jenisnya.
Solusi
Bapak “sayapuntaktahu85” yang baik, setelah sekilas uraian di atas, kini kembali kepada diri bapak sendiri. Bertanyalah pada diri bapak; bapak masuk yang mana? Maaf, apakah khuntsa, mukhannats, atau homo? Kita tidak berjumpa langsung, jadi sulit bagi kami untuk menentukan bagaimana keadaan bapak yang sesungguhnya.
Baiklah, jika bapak seorang khuntsa (musykil), maka para ulama membolehkan bapak untuk melakukan operasi ganti kelamin. Namun, ini SYARATNYA SANGAT KETAT. Bapak harus meminta pendapat kepada dokter ahli, psikolog, psikiater, dan ulama yang tsiqah (dipercaya dan mumpuni). Akan lebih baik lagi, jika masing-masing dokter ahli, psikolog, psikiater, dan ulama; jumlahnya lebih dari satu. Setelah mereka menyimpulkan, bahwa; hormon kewanitaan bapak lebih dominan, sifat kewanitaan bapak lebih menonjol, kecenderungan seksual bapak adalah kepada lelaki dan tidak kepada perempuan, dan sebagainya; maka bapak boleh melakukan operasi ganti kelamin menjadi perempuan, atau lebih tepatnya operasi penyempurnaan kelamin. Dan, menurut para ulama, sejatinya ini bukanlah operasi ganti/penyempurnaan kelamin, melainkan pengobatan. Sebab, yang dialami orang seperti bapak adalah penyakit, sehingga tindakannya adalah mengobati penyakit. Ini boleh. Adapun operasi ganti kelamin yang tanpa alasan kuat, serta tanpa rekomendasi dari para pakar (dokter ahli, psikolog, psikiater, dan ulama), maka para ulama sepakat bahwa ini tidak boleh. Karena ini adalah tindakan mengubah ciptaan Allah.
Di antara para ulama yang membolehkan operasi penyempurnaan (ganti) kelamin ini, adalah: Syaikh Athiyah Shaqr (Fatawa Al-Azhar), Fatawa Lajnah Daimah (fatwa nomor: 2688/ditandatangani oleh: Syaikh Abdullah Qa’ud, Syaikh Abdullah Ghadiyan, Syaikh Abdurrazaq Afifi, dan Syaikh Bin Baz), para ulama di Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (lihat: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=31679), dan para ulama di Markaz Al-Fatwa (lihat:http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa⟨=A&Id=151375&Option=FatwaId).
2. Apabila bapak seorang mukhannats, maka tidak ada alasan untuk berganti kelamin. Sebab, seorang mukhannats tetap mempunyai kecenderungan terhadap lawan jenis. Dan dari pertanyaan bapak, kami melihat bapak bukan seorang mukhannats.
3. Dan sekiranya bapak seorang (maaf) homo atau gay, maka tidak ada yang bisa kami sampaikan selain menyarankan kepada bapak agar lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perbanyaklah ibadah. Mintalah kepada-Nya agar diberikan rasa cinta kepada lawan jenis, dan agar dibuang jauh-jauh rasa suka terhadap sesama jenis. Selain itu, bapak juga sebaiknya berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater. Sampaikanlah permasalahan bapak, dan tanyakan solusinya. Mudah-mudahan Allah segera memberikan pertolonganNya kepada bapak. Amin..
Wassalam.
Dijawab oleh: Abduh Zulfidar Akaha, lc
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar