Tantangan Penerapan Syariat Islam
Kewajiban menjalankan ajaran Islam secara totalitas merupakan tuntutan Islam kepada para pemeluknya. Untuk mewujudkannya membutuhkan sebuah lembaga pemerintahan yang mengawalnya. Maka upaya menyeru dan mengajak pemerintah Indonesia untuk menjalankan syariat islam dengan menjadikan Islam sebagai ideologi negara senantiasa digaungkan oleh para pendakwahnya.
Namun, upaya dakwah ini mengalami banyak tantangan dan hambatan. Sebagiannya berasal dari luar (eksternal), dan sebagiannya dari dalam (internal). Upaya melemahkan dakwah ini pun semakin hari semakin gencar. Bentuk-bentuk yang digunakan sangat beragam. Ada yang dengan jelas-jelas menghina syariat yang tidak cocok diterapkan pada zaman modern ini. Ada juga yang menggunakan berbagai shubuhat yang ditanamkan sesama aktifis dakwah Islam untuk melemahkannya.
Dalam sebuah acara kajian bulanan di wilayah Bekasi Utara, Ahad (25/10/2009) seorang Ustad alumni negeri Yaman menyampaikan kritikan keras kepada penyeru tathbiq syariah. Alasan ustadz ini, banyak kaum muslimin yang belum memahami hakikat dua kalimat syahadat dan banyak wanitanya yang tidak mengerti rincian masalah haidz. Bahkan sang ustadz menyebutkan, dakwah kepada tathbiq syariah termasuk ciri dakwah kelompok khawarij, wal 'iyadz billah (kita berlindung kepada Allah darinya).
Tidaklah diwafatkannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallamkecuali syariat sudah sempurna. Tak akan ada lagi nabi sesudah Rasulullah yang membawa risalah penyempurna Islam ini. Para duat (pendakwah Islam) pada zaman sesudah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya menyampaikan ajaran yang berasal dari beliau.
Kesempurnaan syariat Islam juga berlaku pada masa sekarang ini. seluruh syariat harus dilaksanakan umat Islam dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan. Maka diadakannya pemerintah yang menjadikan Islam sebagai dasar konstitusinya untuk menyempurnakan pelaksanaan Islam secara totalitas dibutuhkan umat pada zaman ini.
Namun, perlu diperhatikan juga, bahwa dakwah kepada syariat Islam bukan berarti meninggalkan penjelasan tentang dua kalimat syahadat dan syariat-syariat lainnya.
Dalam sebuah hadits riwayat imam at-Tirmdzi, dari Abu Waqid al-Laitsi, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menuju Hunain (dalam perang Hunain) bersama beberapa sahabat yang baru masuk Islam. ketika mereka melewati sebuah pohon milik kaum musyrikin yang biasa digunakan untuk menggantukan pedang mereka di sana (untuk meminta berkah), yang disebut dengan dzaat anwath, mereka berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "wahai Rasulallah, buatkan untuk kami dzaat anwath sebagaiana mereka mempunyai dzaat anwath. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallambersabda, Subhanallah (dalam riwayat lain, Allahu Akbar) demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, yang kalian katakan adalah seperti yang dikatakan bani Israel kepada Musa, buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka memiliki tuhan."
Dalam hadits ini, para Rasulullah tidak mensyaratkan paham masalah aqidah dengan detail untuk ikut berjihad bersama beliau. Begitu juga untuk direalisasikannya syariat islam sebagai aturan formal tidak disyaratkan seluruh umat Islam sudah paham terlebih dahulu masalah aqidah dengan rinci, para wanitanya menguasai permasalahan fiqih wanita, dan semua rakyat menjadi shalih laksana malaikat.
Menerapkan syariat bagian dari perintah dien, mengadakan lembaga pemerintahan menjadi keharusan karena syariat tidak bisa direalisakan tanpanya.
Tampaknya dakwah dan perjuangan menerapkan syariat islam dalam lembaga formal akan menghadapi tantangan yang semakin berat dengan hadirnya kelompok yang mengaku paling Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, tapi selalu menyerang para duat penyeru tathbiq syariah. (PurWD/voa-islam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar