Meninjau Kembali Gera5kan LGBT
Senin 21 Syawal 1435 / 18 Agustus 2014 14:30
Oleh: Rianda Febrianti – Mahasiswi Psikologi
Koordinator Kajian 1, Komunitas Penggenggam Hujan
Universitas Indonesia
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia kembali diramaikan oleh munculnya isu ke permukaan tentang bacaan remaja yang bermasalah berjudul “Why? Pubertas”. Dikatakan bermasalah karena mengandung konten yang tidak layak baca, membincangkan mengenai homoseksual.
Adalah Fahira Idris yang melayangkan teguran kepada Elex Media Komputindo Gramedia untuk menarik cetakan buku tersebut. Alhasil, isu tentang Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) mencuat ke publik dan memunculkan berbagai respon.
Di twitter, muncul hastag #TolakLGBT dan #TolakpropagandaLGBT yang membuat para pejuang atau masyarakat yang pro-LGBT ikut meramaikan topik tersebut dengan upaya membuka mata publik terhadap perjuangan mereka. Bahkan beberapa akun komunitas LGBT juga membuat propaganda balasan ke akun @fahiraidris.
Gerakan Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT)
Selama ini, kaum LGBT merasakan bahwa mereka adalah masyarakat minoritas yang sering didiskriminasi oleh masyarakat mayoritas. Tidak hanya di Indonesia, diskriminasi dan bullying pada kaum ini banyak juga dilakukan di berbagai negara.
Sekian lama merasa ‘tertindas’ dengan perlakuan masyarakat, mereka pun membentuk komunitas untuk saling menyemangati dan mendukung satu sama lain. Lama kelamaan muncul upaya dari komunitas gay ini untuk memperjuangkan ‘hak’ mereka agar diakui di masyarakat dan perilaku mereka dilindungi oleh hukum. Komunitas ini pun bergerak dan masuk tataran politik untuk membuat mereka legal dalam konstitusi. Gerakan atau upaya untuk diakui dan dilindungi secara konstitusi ini dikenal dengan istilah gay politic.
Dalam buku “Homosexuality and The Politics of The Truth”, Satinover (1996), seorang psikiater, menyatakan bahwa kaum ini bukan sedang memperjuangkan kebenaran namun cenderung melakukan segala cara untuk mencapai tujuan mereka.
Termasuk di antaranya memunculkan argumentasi-argumentasi yang bersifat ilmiah dalam gerakan mereka. Ada tiga alasan yang mereka paparkan menurut Satinover, yaitu, homoseksual bawaan genetis atau dikenal dengan “born that way”, tidak dapat dipulihkan secara psikologis, dan secara sosiologi mereka dipandang normal. Pada kenyataannya, pernyataan-pernyataan ilmiah yang pro-gay banyak juga disangkal oleh para saintis di berbagai bidang. Satinover dalam bukunya menyangkal tiga argumentasi-argumentasi tersebut.
Perdebatan ilmiah tentang homoseksual sudah terjadi dari tahun 1970-an hingga sekarang (Kania, 2014). Hasil penelitian yang paling sering mereka gunakan untuk kampanye dan gay politics adalah penelitian pada anak kembar yang diadopsi, yang dilakukan oleh Bailey dan Pillard (1991), penelitian tersebut mencapai kesimpulan bahwa ada gen homoseksual pada manusia.
Namun, ternyata penelitian lanjutan tentang homoseksual itu pada hubungan keluarga yang dilakukan oleh peneliti Bailey dkk (1999) menunjukkan bahwa X-linkage gen tidak mempengaruhi orientasi seksual pada laki-laki, dan hasil ini tidak mendukung penelitian mereka sebelumnya.
Penelitian lain yang sering dimunculkan oleh kaum gay adalah penelitian yang dilakukan Hamer dkk (1993) yang menunjukkan bahwa homoseksual berhubungan dengan kromosom X yang diturunkan Ibu kepada anak laki-lakinya yang homoseksual. Namun, hasil penelitian ini kontras dengan hasil Rice dkk (1999) yang melakukan replika penelitian dengan sampel yang lebih besar di daerah Kanada, hasil itu menemukan bahwa kromosom X tidak mendukung homoseksual. Dan hasil dari Hamer dkk masih dipertanyakan legitimasinya.
Bermodal ‘legitimasi’ yang masih kontroversial di dunia akademis, mereka menggunakan modal itu untuk diakui dan menghapus stigma tentang mereka pada masyarakat di seluruh dunia melalui gay politic lalu berupaya mengukuhkan eksistensi mereka dalam konstitusi negara.
Dalam menjalankan aksinya, mereka pun membuat kampanye yang rapih dan masif di berbagai media dan komunitas. Mereka melakukan parade solidaritas dan bersama-sama menampilkan diri ke publik dan masuk ke berbagai media, seperti majalah, film, musik, media sosial dan diskusi publik. Mereka menggunakan pelangi sebagai simbol untuk menunjukkan bahwa masyarakat harus mentoleransi perbedaan mereka karena manusia beragam seperti pelangi.
Mereka juga menampilkan diri sebagai golongan minoritas yang tertindas dan patut dilindungi. Gerakan ini bukan gerakan yang tidak bergigi, sudah beberapa negara akhirnya memenuhi mimpi mereka untuk diakui dan dilindungi eksistensinya dalam konstitusi negara. Beberapa di antaranya adalah negara Belanda, Amerika Serikat, Perancis bahkan Bagian Hak Asasi Manusia PBB telah membantu kampanye mereka.
Mereka juga membuat istilah ‘homofobia’, istilah ini muncul pertama kali di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1960. Istilah ini kemudian digunakan oleh seorang psikolog klinis asal Amerika Serikat bernama George Weinberg dalam bukunyaSociety and the Healthy Homosexual pada tahun 1972 (Anderson, 2013). Homofobia digambarkan sebagai ketakutan yang tidak rasional atau ekstrim pada kaum homoseksual.
Istilah ini dilekatkan kepada masyarakat yang menolak keberadaan mereka, penggunaan istilah ini dalam kampanye mereka sebenarnya sebuah upaya membalikkan posisi psikososial, bahwa mereka yang normal dan masyarakat penolak mereka yang abnormal karena ‘fobia’ menggambarkan kondisi psikologis yang abnormal. Penggunaan istilah homofobia digunakan dalam gerakan mereka untuk menormalkan homoseksual dalam masyarakat.
Agama Sebagai Dinding Penghalang
Namun ternyata, agama masih menjadi penghalang terkuat perjuangan kaum gay ini (Divisi Litbang dan Pendidikan Komisi Nasional Perempuan, 2008). Dogma agama yang kuat pada masyarakat dapat menghalangi upaya mereka menginternalisasi keyakinan tentang adanya keragaman orientasi seksual dan ‘hak’ mereka untuk diakui dalam masyarakat. Bila dilihat dengan perspektif Islam, hukum tentang kaum gay ini sudah jelas dan tegas.
Berbeda dengan paradigma Barat, tidak ada relativitas nilai dalam Islam, Islam adalah agama yang memiliki nilai dan konstitusi yang absolut namun dinamis, tetap dimanapun dan kapanpun, namun ada ruang penyesuaian kondisi yang boleh dilakukan selama tidak menentang hukum-hukum yang telah Allah Swt tetapkan.
Surat Al A’raf ayat 80-84 dan surat Hud ayat 77-82 secara terang menjelaskan bahwa Kaum Sodom atau Umat Nabi Luth adalah kaum homoseksual yang menerima peringatan dari Nabi Luth karena menjadi kaum yang jahil dan melakukan hubungan sesama jenis, yang kemudian dibinasakan oleh Allah Swt karena mengabaikan peringatan dan tidak kunjung beriman dan bertaubat kepada Allah Swt.
Mereka dibinasakan pada waktu subuh. Sayangnya, ayat yang sejelas ini pun, masih ditafsirkan secara keliru oleh kaum liberal. Mereka masih berupaya agar kaum gay ini diakui dengan menafsirkan bahwa Kaum Sodom mendapat adzab Allah bukan karena orientasi seksualnya namun lebih karena mereka memaksa untuk berhubungan dengan tamu Nabi Luth yang merupakan jelmaan malaikat. Tafsir kaum liberal tersebut tentu terasa memaksa.
Fitrah Dasar dan Homoseksual dalam Islam
Allah Swt sebagai Pencipta Alam Semesta ini tahu yang paling baik bagi umat manusia. Dia Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Segala hukum dan aturan yang telah Dia turunkan melalui Al Quran dan Sunnah adalah yang terbaik dan tidak akan bertentangan dengan fitrah manusia. Ketika ada sesuatu yang tidak sesuai atau berbeda dengan kondisi yang seharusnya maka sebenarnya itu adalah ujian. Fitrah adalah sifat dasar yang ada dalam diri manusia sejak awal penciptaannya. Dia menciptakan laki-laki dan perempuan dan menjadikannya berpasang-pasangan lawan jenis (heteroseksual) seperti yang tertulis dalam Surat An-najm ayat 45,
“Dan sesungguhnya, Dialah yang menciptakan pasangan, laki-laki dan perempuan.”
Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan pun Allah Swt menegaskan sejumlah peraturan agar manusia tidak terjerumus kepada lembah kehinaan. Rasulullah Saw mengajarkan muslim untuk beradab dalam bergaul, menjaga aurat dan batasan.
Dalam Islam, ada beberapa macam kelainan yang berkaitan dengan jenis kelamin (dalam Kania, 2014), khunsa atau seseorang yang memiliki dua alat kelamin atau tidak memiliki alat kelamin. Imam Al Kasani berpendapat bahwa tidak bisa seseorang menjadi laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Khunsa terbagikhunsa ghairul musykil (mudah) dan khunsa al musykil (sulit). Oleh para ulama fiqh, dalam mempertimbangkan ahli waris khunsa ghairul musykil akan dilihat dari tanda-tanda bentuk fisiknya, bila ia tumbuh dengan tanda fisik laki-laki maka dirinya laki-laki begitu juga sebaliknya.
Sedangkan, menurut Ibnu Qudamah, khunsa al musykil, adalah kasus dimana sulit diidentifikasi secara fisik sehingga dalam penentuannya, mereka ditanyai dirinya laki-laki atau perempuan. Bila ia mengaku perempuan maka ia hanya boleh menikah dengan laki-laki, begitu juga sebaliknya.
Untuk zaman sekarang masalah ini, biasanya diatasi melalui pengecekan medis sehingga diidentifikasi apakah jenis kelamin bawaannya dan setelah dilakukan pengecekan akan dilakukan tindakan operasi untuk memudahkan kehidupan orang tersebut dalam menjalankan perannya. Tindakan operasi ini berbeda dengan pergantian yang dilakukan orang yang telah jelas jenis kelaminnya namun menginginkan jenis kelamin yang lain melalui operasi atau transgender.
Jenis kedua adalah Al-mukhannast, yaitu, laki-laki secara kelamin namun bersifat feminin atau menyerupai perempuan dan Al Mutarajjil, yaitu, perempuan secara fisik namun bersifat maskulin atau kelaki-lakian. Namun, masih memiliki kecenderungan orientasi seksual yang normal. Al mukhannast dan Al mutarajjil yang dibuat-buat dilarang dan dibenci oleh Allah swt. Namun, bila tidak dibuat-buat atau bawaan, tidak dilaknat namun, sebisa mungkin dikurangi kecenderungan untuk berperilaku demikian.
Jenis terakhir adalah Liwath (gay) dan As-sihaq (lesbian), golongan ini tidak termasuk dalam khunsa dan Al mukhannast/Al mutarajjil yang diatur dalam Islam. Mereka laki-laki atau perempuan secara fisik namun mencintai sesama jenis.
Menurut para ulama, golongan inilah yang menjadi kaum Nabi Luth As adalah kaum yang diadzab oleh Allah Swt. Hukum bagi mereka ini, menurut para ulama, baru dikenai ketika mereka sudah melakukan perbuatan hubungan sesama jenis. Namun, ketika baru berupa niat dalam hati dan belum dilakukan, maka mereka belum berbuat dosa, kecuali terkena penyakit hati yang dapat dipulihkan.
Bagi kaum homoseksual, perbedaan mereka dengan manusia kebanyakan dapat menimbulkan kerisauan dan ketidaknyamanan. Sebagian mereka merasa bahwa kegelisahan dan ketidaknyamanan itu muncul karena mereka harus menyembunyikan orientasi seksual mereka atau kekhawatiran tidak diterima atau mendapat perlakuan buruk dari masyarakat.
Ada juga yang merasa depresi karena merasa ada yang salah dengan dirinya karena berbeda orientasi seksualnya dan ingin menjadi seseorang dengan jenis kelamin yang berbeda dengan keadaannya, namun takut dengan keluarga atau lingkungan. Sebenarnya ketika didalami, kegelisahan dan ketidaknyamanan itu bukan karena faktor eksternal tapi dari internal mereka sendiri. Ada konflik antara fitrah dan dorongan yang besar untuk menentang fitrah itu. Hal tersebut semakin diperparah dengan tekanan dari eksternal seperti pengucilan, bullying, caci maki, kekerasan atau hinaan yang membuat mereka semakin terpuruk.
Ketidaktahuan dan minimnya penghayatan tentang agama membuat mereka tidak menjadikan agama atau ibadah kepada Allah Swt sebagai solusi atas permasalahan mereka. Mereka sekuat tenaga berusaha mencari ketenangan, termasuk di antaranya mengubah penampilan, operasi kelamin bagi transgender atau menikah dengan sesama jenis. Mereka merasa bahwa ketika bebas berekspresi, dipandang normal dan diterima di tengah masyarakat mereka akan terbebas dari stress atau masalah.
Sayangnya tidak, masalah akan terus semakin parah pada kehidupan selanjutnya, salah satu kasus adalah ketika mereka menikah lalu mengadopsi anak, lalu anak tersebut bingung dan kesal dengan keadaan keluarganya yang tidak normal dan perilaku anaknya pun menjadi masalah dan tekanan yang lebih besar untuk mereka.
Belum lagi masalah sosial seperti keambiguan seksual dan kekacauan nasab atau keturunan yang akan terus menimbulkan masalah-masalah baru. Dan percayalah, segala sesuatu yang tidak diridhai oleh Pencipta Alam Semesta ini pasti akan buruk untuk kehidupan dan peradaban manusia. Yakinlah, dimana ada perintah-Nya, maka ada kemaslahatan, pun sebaliknya dimana ada larangan maka ada kemudharatan.
Ketika kaum LGBT semakin jauh dari cahaya Islam, maka semakin pelik dan sulit bagi mereka keluar dari masalah itu. Menentang fitrah, ibarat memilih hutan rimba yang tiada bertepi sedangkan ia sebenarnya bisa mengikuti jalan lurus, walaupun harus keras dan berliku. Namun, ketika ia semakin jauh dari jalan lurus, semakin ia tersesat dan ditimpa lebih banyak masalah besar bahkan dapat menjadi mangsa hewan buas di hutan yang tiada bertepi itu.
Mendakwahi Mereka dengan Cara yang Baik
“Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah, nasehat dan cara yang baik, bertukar pikiran dengan mereka dengan argumen yang terbaik…” (QS. An-Nahl: 125)
Melihat kasus LGBT, gerakan dan masalah yang mereka hadapi, sebagai muslim kita butuh untuk membuka diri terhadap masalah mereka dengan cara yang lebih bijak dan adil. Ada hak mereka yang harus dipenuhi yaitu hak untuk didakwahi dengan cara yang baik karena metode ini yang Rasulullah Saw ajarkan dalam menyampaikan keindahan Islam. Dalam masyarakat, cara pencerdasan untuk isu LGBT ini sebaiknya tidak hanya dengan menyebarkan informasi ke masyarakat mengenai penolakan LGBT, tapi juga membentuk strategi edukasi tentang langkah yang mungkin lebih solutif untuk kaum ini dan mencegah bertambahnya jumlah mereka. Beberapa akademisi muslim menyarankan upaya preventif dan akuratif untuk kaum ini. Berikut adalah rangkuman upaya dari Tzortzis (2012), Kania (2014), dan Apipudin (2014):
Pertama, dakwah yang merangkul bertindak asertif (bersifat tegas) dan persuasif (bersifat ajakan). Ketika mereka berteriak ingin dimanusiakan, sebenarnya Islam juga memanusiakan mereka ketika mereka mau didakwahi dan bertaubat. Hanya sayangnya, masyarakat kita belum mampu berdakwah secara lebih layak untuk mereka. Umat Islam lebih banyak melakukan penentangan dengan kebencian bukan dengan keprihatinan dan upaya yang persuasif. Ini juga yang membuat mereka enggan berteduh di bawah ketenangan agama terutama cahaya Islam.
Mereka dari Jaringan Islam Liberal (JIL) berusaha merangkul mereka dengan memaksakan ‘izin’ keberadaan mereka di agama melalui tafsir liberal. Ini tentu langkah yang keliru. Seperti sudah menjadi identitas JIL yang menghalalkan apapun atas nama hak asasi dan menanggalkan otoritas aturan-Nya. Sebagian kaum gay menilai JIL lebih bijak dari orang-orang Islam yang tidak liberal. Jika JIL saja dapat membuat mereka menilai bijak apalagi Islam yang sesungguhnya? Ini mungkin masalah metode dakwah yang sebaiknya kita renungkan ulang.
Kaum LGBT merasa tersisikan karena mereka sering di-bully dan disakiti di masyarakat. Sebaiknya, muslim mulai menggalakkan proses dakwah yang merangkul, berupaya meluruskan mereka bukan dengan hinaan, cacian atau pengucilan tapi sebaliknya, mendakwahi mereka dengan asertif dan persuasif . Bila mereka bermasalah secara biologis, diobati atau diterapi dengan baik untuk mengembalikan kondisi mereka pada fitrahnya. Mereka adalah orang-orang yang bermasalah yang butuh bantuan dan cahaya Islam untuk mengembalikan mereka kepada fitrah.
Kedua, dampingi mereka selalu dengan dukungan Islami. Ketika mereka sudah bertaubat, mereka ini selayaknya orang yang sakit, butuh pemulihan dan penjagaan. Kebanyakan dari masyarakat kita ketika mereka pulih masih sering dikucilkan atau mengungkit masa lalu mereka sehingga mereka sakit hati dan tertekan dan hal ini dapat memicu mereka kembali pada komunitas mereka yang dinilai lebih nyaman dan mau menerima mereka. Mereka tidak bisa dilepas sendiri untuk istiqamah di jalan lurus, butuh kelompok yang dapat mendengarkan keluh kesah perjuangan berada dalam jalan yang benar dan seorang guru yang senantiasa membimbing mereka dalam proses pemulihan serta masyarakat yang menjaga mereka dari penyimpangan lagi.
Ketiga, membentuk lembaga atau organisasi Islami yang fokus pada edukasi dan pemulihan kaum LGBT. Hal ini sebaiknya dilakukan untuk membentengi umat dari propaganda mereka adalah mengedukasi masyarakat tentang fitrah manusia sesuai ciptaan Allah Swt. melalui media yang bersahabat dan komunikatif berkenaan dengan LGBT ini. Selain itu, juga dapat mendorong umat untuk melakukan langkah yang tepat saat menghadapi LGBT, bukan mem-bully tapi menasehati dengan cara yang baik atau bila tidak mampu mengantarkan mereka pada pendakwah yang dapat membantu mereka keluar dari masalah dan membuat pusat-pusat konsultasi Islami yang dapat membimbing orang-orang yang bermasalah itu ke jalan yang lurus.
Pada lembaga konsultasi psikologi kontemporer dengan dasar epistemologi Barat banyak yang akhirnya mengantarkan mereka ini pada jalan yang keliru. Para psikolog itu ketika didatangi para LGBT yang kebingungan, sangat mungkin berkata “just be yourself. If you feel fine, it’s ok…”. Hasil konsultasi pada psikologi kontemporer sangat bergantung pada nilai yang dianut konsultannya ketika ia adalah orang yang mendukung LGBT maka jawaban di atas mungkin saja terlontar dan bisa juga sebaliknya, sangat relatif.
Ketika ruang-ruang konsultasi itu dapat menambah kekeliruan dan masalah bagi mereka. Di situlah ruang konsultasi Islam sebaiknya menjadi alternatif solusi yang jauh lebih baik. Dimana panduan kita langsung dari yang menciptakan manusia sehingga dapat memberikan solusi yang lebih efektif dan mengembalikan mereka kepada kondisi yang lebih mulia. InsyaAllah..
Daftar Pustaka
Al Quran
Anderson, E. (2013). Homophobia. Encyclopedia of Britania. Diakses di http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1758377/homophobia
Apipudin. (2014). Sikap Islam terhadap perilaku kaum gay dan lesbian. Diskusi Forum Amal dan Studi Islam (Formasi), Universitas Indonesia, Depok. [makalah]
Bailey, J.M., & Pillard, R.C. (1991). A genetic study of male sexual orientation.Archives of General Psychiatry, 48, 1089-1096.
Bailey, J. M., Pillard, R.C., Dawood, K., Miller, M.B., Farrer, L.A., Trivedi, S., & Murphy, R.L. (1999). A family history study of male sexual orientation using three independent samples, Behavior Genetics, 29, 79-86.
Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan. (2008) . Dari suara lesbian, gay, bisexual, dan transgender (lgbt)- jalan lain memahami hak minoritas. Diunduh dari:http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2008/10/dari-suara-lgbt-jalan-lain-memahami-hak-minoritas-1-1.doc
Hamer, D.H., Hu. S., Magnuson, V.L., Hu, N., & Pattatucci, A.M. (1993) A Linkage between DNA markers on the X chromosome and male sexual orientation. Science, 261, 321-327.
Kania, D.D. (2014). Gay Politics: Problem relativitas nilai dalam peradaban barat. Diskusi Publik Institute For The Study Of Islamic Thought And Civilizations (Insists), Kalibata, Jakarta. [Powepoint]
Rice. G., Anderson. C., Risch N., & Ebers, G. (1991). Male homosexuality: absence of linkage to microsatellite markers at Xq28. Science, 284, 665-667.
Satinover, J.B. (1996). Homosexuality and the politics of the truth. Michigan: Baker Books
Tzortzis. H. (2014). Hamza tzortzis on homophobia. Islamic Education and Research Academy (iERA). Youtube: http://www.youtube.com/watch?v=SzeopZioh0M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar