dakwatuna.com – Pagi itu, hari senin sekitar pukul 7.30 tapi aku lupa tanggal berapa di tahun 2005, aku tengah bersantai membaca koran pagi ketika telepon itu berdering. Sebagai seorang marboth masjid, aku harus melayani jamaah termasuk jika ada telepon.
Salam menyapa, “Assalamu’alaikum”, sapaku.
“Wa’alaikumsalam”, jawabnya.
“Maaf mas, boleh saya datang ke Al Ghifari”, tanya si penelepon.
“Oh.. tentu boleh, silakan”, jawabku.
Sekitar 1 menit kemudian terdengar lagi salam sambil mengetuk pintu kamar marboth.
“Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumussalam”. Aku keluar melihat siapa yang datang.
“Maaf mas saya yang tadi nelpon”.
“Hah.. cepet amat, emang tadi nelpon dari mana?”, tanyaku.
“Oh dari telepon umum yang ada di depan”, jawabnya.
“Lho, kenapa ga datang aja langsung?”. Dulu di depan masjid memang ada telepon umum koin.
“Mmm, untuk memastikan aja ada orang atau ngga”, katanya.
“Oh, silakan duduk mas”. Kupersilakan ia duduk di kursi depan tempat wudhu akhwat.
“Tahu dari mana telepon Al Ghifari?”, tanyaku.
“Di depan kan ada tulisannya”.
O iya ya pikirku. “Ada yang bisa saya Bantu?”, tanyaku.
“Mmm, boleh saya cerita mas?”.
“Boleh, silakan”.
“Tapi mas jangan marah ya?”.
“Lho kenapa saya harus marah?”, tanyaku.
Mmm, begini mas…”.
Dia bercerita kepadaku panjang lebar tentang jalan hidupnya. Bermula dari aktivitasnya selama di kampung halamannya yang aktif di remaja masjid. Lalu diterimanya ia di IPB untuk kuliah. Wah, anak IPB juga rupanya dan ternyata seangkatan. Itulah yang membuat kami kian akrab. Aku fakultas MIPA, dia dari fakultas yang lain, cuma dia D3. Akhirnya dia masuk ke inti pembicaraan. Semula aku mengira ia akan meminta bantuan keuangan seperti banyak orang yang telah datang ke Al Ghifari dengan berbagai alasan. Tapi ternyata aku salah, dia malah menceritakan masalah penderitaan hidup yang dia alami selama ini.
Selama di IPB ia kesulitan masalah biaya. Tapi ia adalah orang yang mandiri yang tidak mau menyulitkan orang tuanya. Maka ia berusaha mencari uang sendiri mulai dari menjual koran hingga menyemir sepatu. Sampai pada akhirnya, ia mengalah, sepertinya tidak mungkin meneruskan kuliah dan ia pun memutuskan untuk berhenti. Di tengah usahanya mencari kehidupan, ia bertemu seseorang yang baik yang ingin menawarkan pekerjaan. Langsung saja ia terima tawaran tersebut, bahkan ia ditawari tempat tinggal bersama orang tersebut di sekitar Ciapus. Awalnya ia diperlakukan dengan sangat baik. Namun beberapa hari kemudian ia merasakan hal yang aneh dalam rumah tersebut. Penghuni rumah adalah laki-laki semua, tetapi kemesraan sesama lelaki terjadi di sana. Sampai pada suatu saat ia dipaksa melakukan hal itu, sebab jika tidak ia akan dibunuh. Ya, ia diper**** oleh sesama lelaki. Setiap hari! Karena memang itu aktivitas penghuni jika sudah berkumpul. Mulai dari sakit yang ia rasakan, tertekan batin sampai kenikmatan dan ketagihan yang ia rasakan selama menghuni rumah tersebut selama beberapa bulan.
Setelah itu, ia mangkal tiap malam di daerah Taman Topi dan depan DPRD. Biasa, mencari pelanggan. (Ternyata ada lho di Bogor, mungkin banyak). Dan itu ia lakukan selama sekitar 3 tahun lebih.
Namun suatu saat, ketika ia tengah bersantai sambil nonton sinetron, ia mendapati sinetron yang katanya religius, tentang azab kepada kaum gay. Menonton sinetron itu, ia ditertawakan oleh yang lain. Namun setelah hari itu, ia merasa gelisah. Hatinya takut jika yang ia tonton itu terjadi pada dirinya. (ternyata ada juga manfaat sinetron begituan). Terlebih ia pun sudah mengidap penyakit kelamin. Ia bingung, apa yang harus ia lakukan. Akhirnya ia memutuskan harus keluar dari lingkungan itu. Ia pun kabur menuju keluarganya di daerah Cibinong. Ia bercerita hal yang sama seperti yang ia ceritakan kepadaku. Namun keluarganya tersebut malah mengusir dia dengan hinaan. “Pergi kamu, jijik saya ngeliat kamu. Pergi..pergi..”. Begitulah ia menceritakan kepadaku. Hal itu membuat dirinya kecewa dan merasa tidak berguna. Suatu saat ia ingin bunuh diri, tapi urung ia lakukan karena takut. Akhirnya ia kembali lagi ke rumah itu. Beberapa bulan kemudian dia kembali teringat sinetron itu. Dan kali ini dia memutuskan benar-benar akan pergi. Entah ke mana, yang penting pergi. Lebih baik mati dari pada hidup seperti itu. Begitulah katanya. Sampai tidak sengaja dia melewati masjid Al Ghifari. Dia berharap ada yang bisa membantu masalahnya, minimal memberikan dorongan moril buatnya. Begitulah ia bercerita kepadaku sambil menangis.
Terus terang, sebenarnya aku pun merasa jijik mendengarnya, terutama ketika ia bilang ia sudah terkena penyakit kelamin. Ingin aku menjauhinya, meski tidak ingin mengusirnya. Tapi tidak tega, terlebih ketika ia bilang, “mas saya ingin tobat, saya ingin pulang, ingin bertemu ibu, ingin mencium kakinya”. Tidak terasa air mataku pun meleleh. Aku peluk dia. Entah… tiba-tiba hilang rasa jijikku. Yang aku tahu, ada orang yang membutuhkan pertolongan saat itu. Mungkin inilah tugasku menjadi seorang da’i yang bermanfaat bagi orang lain.
Aku tenangkan dia, lalu aku ajak masuk ke kamar marbot. Aku suruh tunggu karena mau membeli makan buatnya. Setelah itu kami makan bersama, terpaksalah aku membatalkan puasa sunnahku untuknya. Kemudian aku tawarkan pengobatan kepadanya.
“Mau ga dibekam?”.
“Apa tuh mas dibekam?”.
Lalu aku jelaskan mengenai bekam.
”Ga mau ah mas, pasti sakit”.
“Ya paling sakitnya sedikit”.
“Ga ah, takut ngeliat darah”.
Dia tak mau, akhirnya aku aja ia ke tempat temanku yang bisa refleksi. Setelah diperiksa, ia memang menjerit ketika ditekan titik untuk saluran pembuangan. Aku tidak langsung cerita ke temanku itu. Setelah itu kami istirahat. Untuk meyakinkan diri kalau ia benar-benar ingin taubat, aku tahan ia selama 3 hari di Al Ghifari. Setiap hari aku kasih makan. Kadang diajak jalan-jalan. Bahkan aku ingin membuktikan kalau ia dulu pernah aktif di remaja masjid. Ternyata ia memang bisa baca Qur’an meski tidak lancar. Dia bilang, dia ingin lagi aktif seperti dulu, belajar agama. Dia janji kalau sudah sampai rumah ia ingin belajar agama lagi.
Ketika malam aku ajak dia tidur di dalam kamar. Dia menolak, tapi aku paksa. Akhirnya dia mau. Kami tidur bersebelahan, karena memang tidur di karpet. Aku terjaga tidak bisa tidur memikirkan yang terjadi hari ini, kok bisa-bisanya aku mendapati hal ini. Sambil juga memikirkan, khawatir aku diapa-apain waktu tidur. Tapi segera kusingkirkan pikiran itu, terlebih dia sudah tertidur lelap, mungkin karena cape dan menahan sakitnya.
Tiga hari sudah dia di Al Ghifari. Shalat 5 waktu, baca Qur’an. Aku melihat sepertinya ada kesungguhan dalam dirinya untuk berubah. Malamnya aku persiapkan perbekalan untuknya pulang kampung. Aku berikan ia sebuah tas kenang-kenangan milikku, sebuah Al-Qur’an satu-satunya yang sangat kusayangi, sebuah surat dan seluruh uang mengajarku yang tidak seberapa. Tidak kupikirkan diriku yang tak punya uang lagi, meski sempat bertanya dalam hati, entar gua makan apa ya. Tapi bodo ah, yang kutahu manusia hanya akan mati kalau memang rezkinya sudah habis. Sebelum berangkat, aku tawarkan ia untuk bertahan di Al Ghifari. Tapi ia katakan tidak. Ia sudah bertekad untuk pergi dari Bogor. Ia ingin kembali ke kampung halamannya dan memulai hidup baru.
Aku antar ia sampai naik angkot. Dan terakhir kami berpelukan kembali. Ia mengucapkan terima kasih. Dan ia berjanji akan kembali ke rumahnya dan tidak akan kembali ke kehidupan yang jahiliyah itu lagi. Dan ia pun akan mengingatku seumur hidupnya.
Setelah itu, baru aku cerita kepada marbot yang lain siapa orang itu. Yang lain hanya bisa heran…
Ya Allah selamatkanlah dia dan kami. Tunjukilah jalan yang terbaik buat dia dan kami. Ya Allah, Engkau Maha segalanya, jika Engkau tidak sempat mempertemukan kembali di dunia ini, maka pertemukanlah kami di surga-MU ya Allah…
Teruntuk saudaraku Yeri (bukan nama sebenarnya), moga engkau sehat saja selalu dan telah sembuh dari penyakitmu. Semoga kau hidup bahagia di samping ibumu, di kampung halamanmu, di Sumatra Barat. []
Redaktur: Ardne
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2009/09/08/3780/bertaubatnya-si-gay/#ixzz3wu83oLTe
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar